bangsa yang besar adalah bangsa yang menulis.

Kemarin saya berkesempatan hadir pada acara peluncuran dan diskusi buku "Islam, Culture, and Education" karya Prof. A. Chaedar Alwasilah atas undangan putri beliau, Kak Indi. Kak Indi  pernah menjadi teman mengajar di Rumah Belajar. Pak Chaedar adalah seorang dosen di UPI. Bukan sekadar dosen, beliau adalah guru besar di bidang Bahasa Inggris yang begitu cinta dengan ilmunya. Namun, jangan sangka dengan ilmu bahasa asing beliau melupakan budaya asalnya. Beliau merupakan salah satu pemerhati bahasa dan budaya Sunda. Tulisan-tulisan beliau di Jakarta Post pun terasa sekali bersahaja, ringan namun bernas.

Untuk saya, peluncuran buku kemarin menarik sekali. Para pembicaranya adalah akademisi "kelas berat" : Don Faust, Ph.D dari Northern Michigan University, dan Prof Deddy Mulyana M.A, Ph.D, Dekan Fikom Unpad. Namun yang dibahas adalah hal-hal yang dekat dengan keseharian dengan bahasa yang membumi dalam kemasan yang mengasyikkan. Jauh dari kesan membosankan. Yang menurut saya penting adalah banyak hal yang terkesan sepele dan sederhana yang sebetulnya cermin namun sangat mendasar, terutama dalam berbahasa.

Kali ini saya tidak ingin bercerita tentang bukunya, karena memang saya sendiri belum membacanya. Namun banyak sekali hal menarik sepanjang acara kemarin, dan beberapa hal di antaranya ingin saya tuliskan.

Pertama adalah ungkapan Prof Deddy, "Penggunaan bahasa asing yang tidak pada tempatnya adalah ciri bangsa yang linglung." Hilang jati diri. Beliau juga menyampaikan ketika kita tidak dapat menggunakan bahasa Indonesia dengan baik dan benar, lalu menggunakan bahasa asing dengan alasan "yang penting komunikatif", berarti ada ketersesatan budaya. Kalau menurut saya, ini adalah bentuk lain penjajahan (baca : Merdeka Berbahasa).

Yang berikutnya adalah bahasa terkait cara berpikir yang kritis. Perjalanan ide dan pikiran menjadi tulisan yang bernas tentunya melewati sejumlah pemikiran dan pertanyaan. Banyak pertanyaan yang muncul sampai tulisan tersebut menjadi matang. Ada pertanyaan afirmasi, mencari data untuk konfirmasi, dan tentu pertanyaan skeptis, "apakah yang saya tulis ini betul?" Saya percaya sekali, membiasakan diri menulis adalah jalan mengasah pikiran untuk terus berpikir kritis selain merapikan ide-ide dan gagasan. Persoalan tulisan tersebut menjadi inspirasi untuk orang lain atau diapresiasi, itu persoalan lain. Namun yang terpenting, menulis untuk saya adalah proses untuk mengasah kejujuran pada diri sendiri, karena sering kali jujur pada diri sendiri itu tidak mudah.

(Bukan) kebetulan pagi ini salah satu grup whatsapp saya membahas tentang menulis dan menghidupkan blog. "Roemah Kajoemanis" ini terlalu lama terabaikan, jarang terjamah. Bukan karena tidak ada yang ingin ditulis, namun lagi-lagi alasannya klasik. Mungkin malah klise. Terlalu banyak yang ingin ditulis, lalu saya kebingungan mulai dari mana. Namun, masalah klasik akan terus terjadi kalau kita tidak cepat-cepat menemukan solusinya dan benar-benar memperhatikannya. Sebelum memulai kembali saya bertanya pada diri sendiri : "saya harus kembali menulis", atau "saya perlu menulis" lagi? Karena saya sadar, rentang waktu saya mengabaikan kebiasaan menulis, pikiran saya kembali berantakan. Ide-ide yang tercecer tak tertulis kadang berubah menjadi pengganjal ide lain. Ada hal yang tidak lepas. Ada hal yang mengganjal. Ya, saya perlu produktif menulis lagi. Berkaitan dengan produktivitas, Pak Chaedar mengingatkan saya kemarin. Produktif adalah sebuah keberanian untuk tampil tidak sempurna. Betul sekali, Pak! Beberapa draft tulisan saya tidak kunjung "matang" karena saya merasa belum bisa memaksimalkannya. Untuk ini, lagi-lagi saya 'ditampar' kemarin : "Tulisan yang baik adalah tulisan yang selesai." ;p

Pak Chaedar lalu mengungkapkan, "Kemampuan menulis dibangun oleh karya sastra, dimulai dari karya sastra daerah sendiri." Ups! Pengingat diri, saya perlu lebih banyak membaca karya sastra. Bila kita ingin menguasai suatu bahasa asing, mulailah dari karya sastranya. Karena karya sastra tidak sekadar tulisan, namun juga cermin budaya. Namun sebelumnya, saat kita mengaku menjadi orang Indonesia, sudahkah kita dapat berbahasa Indonesia dengan baik? Apakah kita sudah benar-benar mengenal budaya Indonesia? Ya, satu PR lagi terdaftar!

Satu hal yang saya ingat betul dan saya yakini dari acara kemarin : "Bangsa yang besar adalah bangsa yang menulis". Bila menulis menjadi kebiasaan masyarakatnya, saya terbayang betapa budaya bernalar juga sudah menjadi budaya bangsanya. Dan betapa kuat sebuah bangsa bila masyarakatnya memiliki nalar yang mumpuni.

Apakah Indonesia bisa?

Bisa! Mulai dari kita sendiri, untuk mengabadikan pembelajaran kita melalui tulisan!


Komentar

  1. Lha iku...betol iku. Ayok nulis yookkkk :D

    BalasHapus
    Balasan
    1. mari.. udah lama ngga nulis juga nih.. cuma niat doang :p

      Hapus
  2. Balasan
    1. ayo, heidy! tantanganmu mungkin menulis pendek kali yaa... hahahaha..

      Hapus
  3. Wuihh!! Jadi semangat menyelesaikan tulisan nih! hahay

    BalasHapus
  4. Waah... terima kasih sekali liputannya, mbak Dan. Meski saya sudah menulis tapi rasa-rasanya tulisan.saya belum bernas. PR nih..

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hahaha.. sama nih, mbak.. katanya sih kebernasan tulisan adalah cermin kebernasan pikiran, ciri nalar yang tajam. berarti PR saya adalah menajamkan nalar :)

      Hapus

Posting Komentar

tinggalkan jejak dengan menuliskan opini..

Postingan Populer