Tags

, , , ,

Saya dibesarkan untuk selalu fokus pada pendidikan. Keluarga mengharapkan saya untuk rajin belajar dan terus memperhatikan prestasi akademis. Saking harus fokusnya, saya boleh dibilang kurang akrab dengan pekerjaan rumah. Menyapu, memasak, menyetrika, dan lain sebagainya. Bahkan, urusan makan dan memilih baju pun kadang masih harus disuapi dan disiapkan. Padahal saat itu, saya sudah menginjak usia 20an.

Awalnya, semua berjalan baik-baik saja. Setidaknya bagi saya. Namun, dunia mulai terasa jungkir balik ketika saya harus merantau. Di tempat yang cukup asing. Tanpa kerabat tanpa saudara. Tempat dimana saya harus mengatur segala sesuatunya untuk diri saya sendiri.

Sejujurnya, di satu sisi, saya bahagia. Betapa tidak, saya bisa bebas memilih, menentukan dan melakukan apa yang saya mau. Tapi di sisi lain, saya bingung. Saya tidak tau bagaimana cara memilih, menentukan dan melakukan apa yang saya mau dengan bijak, tepat dan bermanfaat.

Saya merantau karena alasan pekerjaan. Maka, saya menolak segala bentuk subsidi dari orang tua. Rasanya harga diri langsung naik ke level puncak. Merasa keren dan bangga tak lagi ditopang oleh orang tua. Namun di sisi lain, saya harus menerima konsekuensi klise dompet nyaris bersih di akhir bulan. Saya pernah harus hidup dengan uang senilai sepuluh ribu rupiah di dompet, tiga hari menjelang gajian.

Itulah titik balik saya belajar tentang kemandirian. Alhamdulillah, saya selamat. Mandiri membuat saya berpikir dan kreatif. Membuat hidup saya lebih hidup. Merasakan langsung segala konsekuensi atas pilihan hidup saya. Pengalaman ini juga yang melatarbelakangi pola pengasuhan terhadap anak-anak saya kini.

Kebetulan saya bukan orang yang mudah percaya terhadap orang lain. Saya memilih untuk mengasuh sendiri dua putri saya. Beruntungnya, saya juga tidak punya asisten rumah tangga. Jadi, keluarga kecil ini harus bahu membahu untuk saling menjaga dan saling mendukung. Dalam kemandirian dan kreativitas.

Berhubung hanya tinggal berempat, yakni saya, suami, dan anak-anak, kami harus pandai-pandai bekerjasama, mengatur jobdesk masing-masing, dan menentukan prioritas. Saya percaya, kemandirian anak tidak akan berhasil tanpa adanya kemandirian orang tua, sebagai panutan. Namun pun menurut saya, kemandirian orang tua, bukan semata-mata mampu melakukan semuanya sendiri. We’re just hu-man. Not super-man.

Kadang juga kami lelah. Saat lelah, saya lebih memilih untuk tidak menyembunyikannya di depan anak-anak. Namun, tidak juga mengeluhkannya secara berlebihan. Saya lebih suka jujur pada mereka, dan kadang meminta mereka memijat atau membacakan cerita untuk saya. Kembali, bagi saya mengajarkan kemandirian tidak sebatas melatih kemampuan melakukan segala hal sendiri. Namun lebih kepada keyakinan akan kemampuan diri sendiri, keyakinan bahwa keberadaan kita bermanfaat bagi diri sendiri dan orang lain.

Dua anak saya memiliki hobi dan selera cukup unik. Anak pertama saya suka mengenakan batik dengan aksesoris ala cowgirl namun gemar memasak dan berkutat di dapur. Anak kedua saya suka mengelap kaca sembari mengenakan gaun ala princess. Memang sih, pekerjaan rumah jadi lebih lama selesai. Tapi, sebenarnya justru bisa menjadi acara bonding dan belajar bersama anak-anak. Kalau di dapur, bisa belajar tentang nama-nama bahan dan bumbu masakan. Kalau beberes rumah, bisa sambil bernyanyi dan berdansa.

Screen shot 2016-03-21 at 11.53.23 AM.png

Kakak blender sendiri smoothies kesukaannya.

Diam-diam, saya juga memasang target untuk anak-anak di usia tertentu. Misalnya, anak-anak harus bisa mandi sendiri, sikat gigi sendiri, buang air sebelum daftar sekolah. Karena saya doyan travelling, anak-anak saya ajak untuk menyiapkan baju mereka sendiri. Saya tinggal bilang, butuh baju apa saja, nanti mereka sendiri yang akan menyiapkan bajunya. Mereka antusias lho, ketika dipercaya mengurus diri sendiri. Memang sih, apa yang mereka lakukan belum langsung sempurna. Masih harus diawasi.

Alih alih menyingkat waktu dengan menyiapkan segala kebutuhan mereka, saya lebih memilih memberi petunjuk dan kesempatan anak-anak melakukan sendiri berbagai hal yang mereka butuhkan. Saya akui, banyak waktu, tenaga serta stok sabar yang tak terkira. Tapi, saya cukup menikmati proses ini. Saya percaya, berangkat dari kepercayaan diri dan keyakinan untuk mandiri, kelak anak-anak bisa bertahan dan bermanfaat bagi diri sendiri, orang lain dan lingkungan.

Saya sendiri sebenernya masih pengen banyak belajar tentang kiat-kiat membantu anak mandiri. Karena, saya juga ada keinginan menyekolahkan anak ke luar negeri. Tentunya, kemandirian menjadi modal penting bagi mereka kelak.

MM2015 slider

Nah, mumpung banget nih, ada seminar Parenting dari The Urban Mama yang bertajuk TUM Modern Mama 2016: Raising Children Who Think For Themselves. Pembicaranya ada pakar parenting yang hits, bu Elly Risman dan penulis kece, Adhitya Mulya. Wajib hadir nih. Mama-mama yang belum mendaftar, yuk buruan daftar. Untuk registrasi, bisa langsung klik gambar di atas. Sampai bertemu di venue yaaa…. 🙂