Ketua ATSI: Tak Ada Monopoli di Luar Jawa, Tapi..

Ketua ATSI: Tak Ada Monopoli di Luar Jawa, Tapi..

Achmad Rouzni Noor II - detikInet
Rabu, 29 Jun 2016 08:08 WIB
Foto: Achmad Rouzni Noor II/detikINET
Jakarta - Merza Fachys, Ketua Umum Asosiasi Penyelenggara Telekomunikasi Seluruh Indonesia (ATSI) yang baru untuk masa jabatan periode 2016-2018, menilai tak ada monopoli seluler di luar Jawa. Namun, ada tapinya.

"Tidak ada monopoli, yang ada hanya dominant player," ujar Merza yang sehari-harinya menjabat sebagai President Director Smartfren Telecom saat berbincang dengan detikINET di Hotel Kempinski, Jakarta, Selasa (28/6/2016).

Berbicara tentang posisinya sebagai orang nomor satu di operator Smartfren, ia mengakui pangsa pasar pengguna selulernya masih sangat kecil sekali jika dibandingkan dengan operator lain seperti Telkomsel, Indosat, XL Axiata, dan Hutchison 3 Indonesia.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Secara nasional market share kami cuma 5%, di luar Jawa masih kecil sekali. Kenapa demikian, karena di luar Jawa lebih besar hambatannya. Infrastruktur di luar Jawa butuh solusi ekstra. Butuh listrik, butuh solar, yang terpenting, butuh transmisi," papar Merza.

Khusus untuk kebutuhan yang ia sebut terakhir itu, soal transmisi, menurutnya bisa saja Smartfren menyewa dari operator yang terlebih dulu membangun jaringan infrastrukturnya di luar Jawa. Dari Telkom, misalnya.

"Kalau mau sewa sama Telkom dikasih, tapi tergantung spek yang dibutuhkan. Jadi nggak ada monopoli, hanya ada dominant player. Definisinya dominant player lihat saja di UU No.5/1999," pungkas Merza.

Masalah soal dugaan monopoli telekomunikasi di luar Jawa ini ramai jadi perbincangan setelah President Director & CEO Indosat Ooredoo Alexander Rusli mempermasalahkan soal dominasi Telkomsel yang disokong oleh sang induk, Telkom Group.


"Telkom itu diskriminasi dalam berbisnis, mereka mengutamakan Telkomsel. Ini saya kasih bukti, kita di Maluku ingin sewa fiber optic untuk backbone, nggak dikasih bos. Katanya kapasitas untuk Telkomsel yang sudah ada ratusan BTS di sana," ungkapnya belum lama ini.

Diakuinya dalam penyewaan kapasitas serat optik pendekatannya adalah business to business (B2B), tetapi Indosat tidak merasakan equal treatment saat bernegosiasi dengan Telkom. "Lucunya, untuk Lintasarta (anak usaha Indosat), dikasih itu sewa. Lah, kenapa untuk yang seluler kagak," ketusnya.

Menurutnya, Telkomsel bisa menjadi besar di luar Jawa tak bisa dilepaskan dari peran Telkom. "Telkomsel ibaratnya bangun akses saja, backbone dan backhaul Telkom bangun. Teritori penjualan sudah ada Telkom sebelumnya," katanya.

Ditambahkannya, bukti lain diskriminasi dalam berbisnis juga dilakukan Telkomsel dalam bernegosiasi untuk pembukaan interkoneksi dengan Indosat di pasar luar Jawa.

"Tri (Hutchison 3 Indonesia) itu dapat deal bagus dengan Telkomsel di luar Jawa, mereka dapat beli bulk alias all you can eat. Penawaran Tri lumayan menarik tuh di luar Jawa karena dapat deal bagus. Kita (Indosat) minta sama, nggak dikasih bos," ketus Alex tak bisa menyembunyikan kekesalannya.

Dikatakannya, Indosat sudah lumayan bersabar dengan keadaan yang tak sehat tersebut di luar Jawa sehingga keluarlah ide membuat kampanye #BuktikanRp1 yang ternyata mendapat animo tinggi dari pelanggan. "Itu pelanggan disuruh megang spanduk mau. Upload pula. Soalnya kita sudah bingung mau angkat isu ketidakberesan ini," katanya

Ditegaskannya, Indosat Ooredoo siap bersaing di pasar luar Jawa asalkan ada kesetaraan alias equal playing field. "Kita nggak minta diistimewakan, kasih treatment sama, kita siap investasi dan bersaing. Kompetisi itu indah, bukan," pungkas Alex.


Sementara pengamat kebijakan publik Agus Pambagio menilai, dominasi operator telekomunikasi terbesar di luar Jawa sudah mengarah pada monopoli dan cenderung merugikan konsumen.

Ia pun meminta kepada Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) untuk ikut turun tangan agar dominasi yang dimiliki operator tersebut tidak disalahgunakan untuk mengeruk keuntungan tinggi dari masyarakat Indonesia. "KPPU harus buat fatwa karena konsumen tidak punya pilihan," tegas Agus.

Sementara Heru Sutadi, mantan Anggota Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI), menilai pemerintah harus bisa menjamin adanya persaingan usaha yang sehat di industri telekomunikasi.

"Buah dari kompetisi kan kualitas harga yang bersaing. Dominasi di wilayah tertentu seringkali membuat operator menetapkan tarif seenaknya. Nah, ini kan bukti kompetisi tak terjadi, pemerintah wajib intervensi," pungkas Heru.


(rou/rou)