Alasan Ini yang Menjadikan Beberapa Warga Papua Enggan Ber-KB

Alasan Ini yang Menjadikan Beberapa Warga Papua Enggan Ber-KB

Rahma Lillahi Sativa - detikHealth
Rabu, 27 Jul 2016 12:32 WIB
Ilustrasi honai di Papua (Foto: Detik Travel)
Yogyakarta - Meski wilayahnya tak begitu luas, Pulau Jawa dikenal karena kepadatan penduduknya. Kontras dengas kondisi tersebut, penduduk Papua justru tak banyak di tengah wilayahnya yang begitu luas.

Menariknya, hal ini berpengaruh langsung terhadap keberhasilan KB di Papua. Drs Yohanes Rahail, M.Kes., dari Pusat Studi Kependudukan Universitas Cendrawasih menyampaikan bahwa program Keluarga Berencana (KB) bukan prioritas bagi orang Papua karena jumlah penduduk lokalnya yang sedikit.

"Papua butuh banyak penduduk lokal untuk mengimbangi jumlah pendatang," katanya.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Selain itu, mereka berpikir jika tidak menghasilkan banyak anak, lantas siapa yang akan mewarisi hak ulayat atau hak adat lainnya. Apalagi sumber daya alam Papua dan luas wilayah yang harus diwariskan dari generasi ke generasi begitu besar sehingga membutuhkan banyak tenaga untuk mengelolanya.

"Jangan sampai sumber daya mereka dikelola oleh pendatang," imbuh Yohanes dalam Pertemuan Nasional Diseminasi dan Sosialisasi Hasil Kajian Dialog Kebijakan Kependudukan di Grand Aston Hotel Yogyakarta, baru-baru ini.

Tak heran dari data SDKI 2012 dan SUSENAS 2013, indikator keberhasilan KB di Papua belum memenuhi standar. TFR (Total Fertility Rate) atau angka kelahiran total di Papua mencapai 3,5 atau jauh di atas rata-rata nasional yang hanya 2,6. Begitu pun dengan CPR (Contraceptive Prevalence Rate) yang hanya 21,8 persen, Unmeet Need 23,8 persen, dan kehamilan yang tak diinginkan yang masih sebesar 11,8 persen.

Baca juga: Kriteria Wanita yang Boleh dan yang Tidak Dianjurkan Pakai Pil KB

Meski demikian Yohanes mengungkapkan, di tiga daerah yang diamati, yaitu Jayapura, Wamena dan Nabire, masyarakat merasa KB tak dibutuhkan karena ada sejumlah kondisi adat yang berkaitan dengan program ini. Di antaranya, masih adanya perang antarsuku. Bila mereka memiliki anak 2-3 saja, kondisi ini tidak menyulitkan mereka untuk mengungsi. Punya anak banyak juga mengganggu persediaan pangan dalam keluarga.

"Di satu kampung biasanya laki-laki atau suami tidak boleh datang ke honai perempuan selama istri menyusui. Bahkan ada sanksi sosial kalau ada yang melanggar ini, jadi ini buat mereka adalah pengendalian kelahiran dan mereka merasa tak perlu kontrasepsi," jelasnya.

Di sisi lain, Yohanes menyadari ada beberapa nilai lokal yang memang menghambat keberhasilan program KB, seperti sistem pernikahan di mana menantu takut kepada ibu mertuanya yang sudah membayar mahar, sehingga muncul tanggung jawab untuk melahirkan keturunan untuk suku suaminya.

"Ada juga bupati atau kepala daerah yang terang-terang mengatakan tak butuh KB," imbuhnya.

Namun bukan berarti orang Papua tak mau menerima KB begitu saja. Yohanes menyebut tantangan sebenarnya ada pada keterbatasan sumber daya manusia di bidang kesehatan dan sulitnya akses transportasi di Papua.

"Ini terkait dengan ketakutan mereka jika pakai kontrasepsi dan terjadi masalah, mereka tidak tahu harus bertanya ke mana. Dan ketika ada cerita dari mereka yang gagal, ini menjadi trauma bagi orang sekampung," pungkasnya.

Baca juga: Pakai Pil KB Bikin Wanita Gemuk, Mitos atau Fakta?

(lll/vit)