Rahasia Manusia Penulis


HAKIKAT MENULIS
Saat menusia menemukan simbol sebagai tanda baca, di situlah disebut sebagai masa sejarah. Dan sejak itu pula tulisan menjadi cara komunikasi yang sama luasnya dengan cara lisan.

Copyright: http://www.pexels.com

Namun tulisan memiliki ciri khas tersendiri, dia dapat menjaga agar informasi yang disebutnya tetap utuh. Kekhasan ini yang sulit untuk dilakukan dengan komunikasi lisan. Hal ini dapat kita lihat sendiri dalam Kitab Suci milik agama-agama di dunia. Bayangkan bagaimana kerja keras untuk menjaga keutuhan informasi Kitab Suci tersebut dengan mengandalkan ingatan dan diwariskan dari mulut ke mulut (maksudnya dengan bercakap-cakap).

Sayangnya (saya kurang tahu di tempat lain) lingkungan tempat saya tumbuh, memandang tulisan sebagai keahlian menyambungkan huruf sebagai kata menuju kalimat, kemudian paragraf dan halaman ke halaman. Saya sendiri menganut pemahaman tersebut bahkan hingga jenjang kewajiban menulis skripsi.

Akhirnya saya menemukan kiat asyik menulis ketika menceburkan diri ke lingkungan yang berbeda. Yakni di lingkungan yang menuntut agar terus-menerus menulis. Yap! benar saya menemukan kesempatan itu ketika diterima bekerja di media Waspada Online. Minat (passion) menulis ini pun berlanjut kala saya diterima bekerja di Komisi Komunikasi Sosial Keuskupan Agung Medan. Di mana lembaga ini mengasuh beberapa media, di antaranya majalah Menjemaat (media cetak) dan Komsoskam.com (media online)

MENGGALI IDE TULISAN & MENGATASI TANTANGAN

Saya kira, pengalaman bekerja di dua media di atas memberi pola sama dalam menggali ide tulisan. Masyarakat hanya peduli membaca apa yang menarik perhatian dan/ atau penting bagi hidup mereka. Tahu akan hal ini adalah permulaan yang penting sebelum menggali ide tulisan.

Kemudian perlu dipahami bahwa tulisan tak selalu hadir dengan curah pikiran nan tiba-tiba. Karenanya, keahlian membaca informasi, berdiskusi/ wawancara dan mengalami langsung isu yang hendak ditulis  menjadi ritual yang harus ada. Saya memahami ini secara lugas dalam buku “‘A9ama’ Saya Adalah Jurnalisme” karya Andreas Harsono.

Biasanya setelah ritual yang disebutkan tadi, sejumlah besar ide akan menumpuk dan masih ruwet atau mentah. Selayaknya penjahit pakaian, kita akan menentukan pola atau alur tulisan yang baik agar memudahkan khalayak membacanya dengan jernih (dan syukur-syukur bisa memberi pengaruh dalam benak mereka). Saya banyak terilhami kiat penentuan pola ini dari buku “Seandainya Saya Wartawan Tempo” yang ditulis oleh Goenawan Mohammad.

Tantangan paling berat dalam menulis, setelah penggalian ide yang meletihkan, adalah penyuntingan atawa editing. Di masa saya masih kalangan pemula, kerap merasa tersinggung karena banyak teks yang dipotong serta ide-ide yang harus diganti.

Tetapi, seiring waktu saya memahami menulis adalah karya tim karena diperuntukkan bagi masyarakat luas. Kecuali tentunya tulisan itu untuk saya baca pribadi, laiknya catatan harian. Penyuntingan memberi sudut pandang segar, dan seperti hakikat menulis itu sendiri agar menjaga agar informasi yang ditulis benar utuh.

KIAT MENULIS BUKU
Jujur saja menulis buku adalah tahapan berbeda dalam pengalaman saya. Menulis artikel untuk media bisa saya lakukan berbarengan dengan ragam tugas lain di Komsos KAM. Namun, ‘menulis buku’ (saya kira) menuntut lebih. Saya pernah tertawa geli membaca kutipan tokoh Inggris, Winston Churchill dalam buku ‘Enchantment” karya Guy Kawasaki, begini isinya:

“Menulis buku adalah sebuah petualangan indah nan menegangkan. Ketika memulai, Anda melihatnya sebagai mainan menyenangkan. Lalu dia menjadi nyonya, dan kemudian menjadi tuan, hingga akhirnya sesosok tiran. Dan, tepat pada tahap akhir pengabdian tersebut, Anda membunuh monster tersebut dan melemparnya ke tengah masyarakat.”

Saya kira kutipan itu sangat benar adanya.

Nah, mungkin dalam benak peserta penasaran bertanya: “Lalu bagaimana kiatnya, bang Bangun?”

Dari pengalaman saya sendiri, ada dua kiat yang bisa memudahkan untuk pengabdian menulis buku. Yaitu “Cicilan” dan “Keroyokan”

• Cicilan

Persis seperti kredit perumahan atau kendaraan, kita bisa menerapkan cara cicilan untuk menulis buku. Saya bersama Istri menggunakan cara ini ketika mendapat tantangan menyusun Buku Dongeng Karo untuk Penerbit Bina Media. Ketika eks bos saya di Komsos KAM, Pastor Hubert menantang saya untuk menulis buku, saya juga dengan mudah mengiyakan. Sebab kami menulis buku rampai seri tulisan kami di media Menjemaat dan majalah online Lentera (kini sudah tak aktif). Artinya artikel-artikel yang kami tulis di media tersebut, ternyata bagai cicilan untuk menghasilkan karya buku kelak.

Kalau penerbit yang meminta kita menulis buku punya divisi editor, biasanya proses bisa lebih mudah karena kita cukup berdiskusi dengan tim editor dan setelah rampung, langsung dilayout oleh tim penerbit itu sendiri. Ini saya alami bersama Penerbit Bina Media.

Namun, hal berbeda terjadi dengan buku bersama Pastor Hubert yang kami beri judul “Merajut Ide pada Lembaran Datar” (diterbitkan Puspantara). Saya bersama owner Penerbit Kalya, Vinsensius Sitepu bersama-sama mengedit ulang naskah yang sudah ada. Maklum, kami ingin menekan cost atawa biaya.

Hal yang membuat saya takjub dalam proyek buku ini adalah tatkala mendapati disrupsi penerbitan media buku. Mulanya saya selalu menganggap buku hendaknya dalam rupa cetak. Namun, buku “Merajut Ide pada Lembaran Datar” dijajakan secara online di Google Play Book. Vinsen menjelaskan, selain menekan biaya cetak, wilayah penjualan buku tersebut menjadi global. Proses pembelian pun sudah disediakan dengan matang oleh Google.

• Keroyokan
Cara ini baik dicoba bagi kita yang baru mencicip dunia penulisan buku. Selain tak dibebani target menulis yang banyak, juga umumnya tak menarik biaya besar (bahkan gratis). Yang dimaksud tak berbiaya besar adalah ketika kita diajak turut oleh pelaksana proyek buku dengan penulis massal. Saya pernah dilibatkan dalam proyek buku seperti ini, namun sayangnya buku itu tak pernah lahir. Mungkin gugur di tangan siapa, saya tak tahu.

Contoh kiat menulis buku secara keroyokan yang bagus, saya kira adalah buku berjudul “Tuhan Tidak Tuli” karya keluarga pasangan suami-istri, Stephanus Junianto dan Ratna Pudyastuti, dan dua anak lainnya, Elisabet Listiyanti, Yahya Tioso, dan juga istrinya (Yahya), Monika Yuliana. Peserta punya rujukan buku keroyokan, boleh kabarin saya via email atau media sosial.

Tentu saja penuturan ringkas saya belum bisa menjawab sepenuhnya tangan dalam menulis, terutama menulis buku. Namun saya hendak mengulang kembali penuturan saya tadi.

Hendaklah dimulai dari pemahaman kita mengenai kegiatan ‘menulis’ itu sendiri. Saya kira hal yang paling mempengaruhi adalah lingkungan kemudian media informasi apa yang kerap kita konsumsi. Jika memang telah menanamkan niat dalam dunia kepenulisan, coba lah untuk mencebur dalam lingkungan yang menuntut untuk hal tersebut.

Perkembangan teknologi informasi dan pandemi telah menambah disrupsi dalam pemahaman akan media buku. Jangan terpaku untuk mencari jalan pintas, namun lebih melihat tantangan sebagai peluang. Tak ada uang, boleh diatasi dengan bergabung ke proyek penulis buku secara massal. Biaya pencetakan buku mahal, bisa diakali dengan penerbitan dan penjualan buku digital.

Sebagai penutup, saya mengutip kata mutiara dari tokoh sastra (idola almarhum bapak saya, yang juga menyematkan satu namanya sebagai nama saya kini):

“Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian.”

― Pramoedya Ananta Toer

8 thoughts on “Rahasia Manusia Penulis

Leave a comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.