Rondos dan Skena Hardcore Punk Merah Belanda

Posted on January 21, 2018

3


Henk bertamu ke Grimloc beberapa minggu lalu. Lama sekali kami tak bertemu. Ia pulang ke Belanda dan tinggal di sana untuk waktu yang cukup lama. Ibunya meninggal dunia dan ia harus pulang kampung. Kami mengobrol panjang lebar, berawal dari pertanyaan saya seputar pengalamannya saat remaja menonton sebuah grup punk legendaris asal Belanda, Rondos.

Henk merupakan kawan lama sejak tahun 2000. Ia memiliki nama hip hop DJ Madrotter, yang di ambil dari nama asal kotanya Rotterdam. Suatu hari ia datang ke Harder Records tempat kami bermarkas kala itu di Jalan Cihampelas. Masih ingat betul bagaimana Henk datang. Saat itu kami  sedang dalam upaya menyembunyikan seorang teman aktivis Papua.

Kala itu “Musim Semi Papua” mulai berubah menjadi “Musim Teror”. Kebijakan Gus Dur menggalang era keterbukaan dan memberi ruang bicara di Papua mulai mendapat serangan balik dari militer. Represifitas itu sampai pula ke Jawa. Salah satu teman di Bandung harus dievakuasi karena teror aparat sudah sangat intens. Harder yang menjadi salah satu ‘markas’ Front Anti Fasis otomatis menjadi tempat transit sementara bagi proses evakuasi sebelum kemudian mengirim mereka ke safe house.

Henk datang tepat di hari dan jam pemindahan. Kami yang mencurigai siapapun saat itu menduga Henk sebagai intel jika bukan wartawan asing. Maklum, saat itu kami baru saja tertipu diinfiltrasi intel yang menyamar menjadi tukang baso tahu.

Namun dalam waktu singkat kami menganggap ia tidak berbahaya. Alasannya sepele; Ia membawa setumpuk CD hip hop dan mengajak berbincang perihal state of art hip hop. Rasanya tak ada intel yang fasih berbicara detail mengenai album Mobb Deep ‘The Infamous’, Kool Keith dan rilisan-rilisan Rawkus Records. Paling tidak untuk saat itu.

Di hari-hari berikutnya Henk membawa lebih banyak lagi CD dan merekomendasikan banyak album hiphop bagus yang saat itu sulit didapatkan. Sebagai catatan, hiphop di ujung 90an dan awal 2000an adalah hiphop yang sedang memasuki era baru. Ketika mainstream tak lagi tertarik pada hiphop 80-90an dan lebih memilih hiphop glossy seperti Puff Daddy.

Grup-grup yang masih secara spartan mempertahankan sound dan estetika era dekade sebelumnya pindah bersikulasi di bawah tanah. Itu adalah zaman dimana label-label hip hop independen kembali marak. Persis seperti saat pertama kali hip hop berangkat menjadi sebuah genre dan industri musik belum tertarik meliriknya. 75 Ark, Stones Throw, Def Jux di awal 2000-an adalah B-Boy Records, Def Jam dan Ruthless di 1980-an.

Otomatis, skala distribusi mereka agak sulit diakses oleh kami di sini yang sangat jauh secara geografis. Saat musik mainstream di 1990-an berarti Naughty by Nature, Onyx dan House of Pain, kalian harus berupaya ekstra untuk bisa mendapatkan musik seperti mereka di tahun 2000-an. Mengimpor CD sudah harus dilupakan, uang hanya cukup untuk makan. Jika kalian beruntung mungkin satu dua pembajak kartu kredit (yang saat itu cukup marak) akan datang menawarkan CD-CD itu secara acak dengan harga sangat murah.

Internet masih sangat terbatas. Beberapa memang bisa kami dapatkan meski hanya sebagian kecil lewat Napster dan Audiogalaxy. Itu pun jika warnet di depan rumah kalian cukup kencang koneksinya. Di situlah letak pentingnya kedatangan Henk saat itu. Lewat koleksinya, kami bisa mendengarkan Black Star, debut Non Phixion, diskografi Company Flow dan album gila Deltron 3030 secara utuh.

Antusias dengan apa yang kami dapatkan, pada satu hari saya memutuskan untuk mengunjungi rumah Henk yang pada saat itu masih mengontrak di bilangan Sukajadi, Bandung. Berharap saya bisa mendapatkan lebih banyak lagi album-album hip hop yang saya cari. Namun, apa yang kami dapatkan malah melebihi ekspektasi. Henk ternyata merupakan kolektor vinyl yang cukup gila. Di sana saya mendapatkan banyak album yang selama ini saya cari. Tak hanya hip hop, namun juga album-album langka beragam genre. Mulai dari diskografi This Heat (band eksperimental/avant garde asal Inggris) hingga album-album seorang musisi dan aktivis asal Nigeria, Fela Kuti, nyaris lengkap.

Di antara koleksinya (ya, saya mengacak-acak rak vinyl Henk selama 2 hari), saya menemukan album Rondos, ‘Red Attack.’ Dahulu sekali saya sempat mendengarnya, zaman awal kuliah, pada sebuah sampler kaset pendamping sebuah zine. Dengan sampul foto Mao Tse-Tung yang difotokopi. Satu lagu berjudul “A Black and White Statement” pada kompilasi itu sangat menarik perhatian saya. Dengan teknik bermain yang lebih primitif dari punk manapun yang pernah kalian temukan dari era 1970-an dan menyerukan keberpihakan di hadapan perang kelas. Tentu saja dengan mudah saya jatuh cinta pada saat itu.

Henk kemudian bercerita perihal pengalaman menonton band ini pada sebuah squat dan alasan mengapa mereka memainkan musik dengan satu nada pada gitar seperti itu. Para personil Rondos memang sama sekali tak bisa bermain musik pada awal mereka membentuknya. Mereka sekumpulan anak muda di Rotterdam yang berusaha memainkan punk yang saat itu marak di Inggris. Memainkan versi murahan dari Wire, Eater, The Damned atau The Clash tentunya dengan skill lebih minimal lagi dari mereka.

Uniknya, meskipun demikian, lagu mereka justru lebih ekletik dan lebih membuat orang berdansa dibanding band-band punk Inggris era itu. Ambil saja dua lagu mereka “A Black & White Statement” tadi dan “Countdown/Twist”. Dengan hanya satu kocokan gitar, satu riff bass sederhana, satu pola ketukan drum dengan satu struktur yang mereka ulang-ulang, bisa dibilang lagu mereka nyaris tak ada chorus sama sekali (atau itu lagu chorus semua?).

Lucunya lagi, mereka menganggap band-band Inggris itu bodoh dan cemen. Lirik-lirik mereka sangat tidak punk bagi Rondos. Mereka berusaha membuat punk yang lebih radikal, jelas keberpihakannya dalam melawan penindasan nilai lebih kapitalisme, etos kemandirian skena dan mengakar dalam pergerakan kelas pekerja. Persis seperti Crass yang memulai anarcho-punk di 1970-an akhir. Bedanya, jika Crass memulai dengan wacana anarkisme dalam lingkaran Proudhon dan Bakunin, Rondos berangkat dari tradisi diskursus Maois dan marxisme otonom a la Trostkys (baru dua dekade kemudian dipopulerkan Antonio Negri) yang menentang fasisme komunis Stalin.

Rondos saat bermain di satu gig bersama Crass

Yang membuat saya penasaran saat itu, apakah Rondos menginspirasi Crass, atau sebaliknya? Atau memang tak ada relasi sama sekali?. Pertanyaan ini yang membuat saya mewawancarai lagi Henk di kemudian hari perihal detail-detail Rondos. Saya tak menemukan jawabannya secara pasti. Saya hanya menemukan satu kesimpulan bagaimana Crass melihat Rondos saat itu. Itu pun dari buku biografi the Story of Crass yang ditulis George Berger berdasarkan wawancara mereka yang diterbitkan pada tahun 2008. Di situ ada pengakuan Rimbaud saat mengetahui para punk Belanda ini begitu serius dengan musik dan pergerakan mereka, ia menjabarkannya singkat; “Rondos membuat Crass terlihat seperti sirkus lelucon”.

Tapi dari wawancara saya kedua dengan Henk tersebut justru saya menemukan beberapa hal yang lebih menarik. Bagaimana generasi punk di Rotterdam saat itu begitu intens dan serius dalam membangun komunitasnya. Rondos bersama tiga band lain, (Tode Wig, Sovjets dan Tandstickorshocks) membentuk sebuah kolektif bernama Red Rock Collective. Mereka aktif mengadakan gigs-gigs otonom, berbagi instrumen musik dan tempat untuk mereka berlatih. Bahkan mereka memiliki squat di beberapa lokasi yang berpindah di Rotterdam sebelum akhirnya menetap di Ijzerstraat. Mereka beri nama Huize Schoonderloo yang merupakan bekas bunker perlindungan dari serangan bom di era Perang Dunia II.

Red Rock Collective di depan markas mereka

Di sana mereka membangun basis komunitas, berfungsi sebagai tempat rapat dan beragam pertemuan, ruang latihan band juga tempat menyablon dan percetakan. Mereka pula membuat label rekaman mereka sendiri di tempat itu, King Kong Records. Plus menjalankan penerbitan mandiri yang merilissebuah komik periodikal bernama Red Rat dan fanzine bernama Raket yang kala itu menjadi saluran alternatif bagi anak muda Belanda di tengah kemunculan masyarakat konsumeris modern.

Publikasi mereka digarap sangat serius dan artistik. Baik poster, komik maupun fanzine yang mereka terbitkan meliput aktivisme mereka, menganalisa kondisi politik mutakhir era itu dan menulis studi ekonomi politik dari kacamata pegiat kultur tandingan seperti mereka. Yang paling menarik adalah ketika mereka mempelajari kebangkitan masyarakat fasis di Jerman dan cikal bakal rezim Nazi yang kemudian digunakan untuk membandingkannya dengan kondisi masyarakat dan politik di Inggris saat itu di bawah Margareth Thatcher.

This slideshow requires JavaScript.

 

Henk dan bandnya, Pleeboy

Henk merupakan bagian dari generasi kedua di squat tersebut. Ia bersama beberapa temannya membuat band bernama Pleeboy dan pula mencetak zine-nya di Huize Schoonderloo. Henk menunjukkan beberapa foto. Pada salah satu foto tersebut Henk muda (sekarang ia berusia 50-an) mengenakan jaket dengan pin dan backpatch Rondos. Nampaknya pengaruh Rondos sangat besar bagi skena punk Belanda saat itu. Henk pula bercerita perihal konflik Rondos dengan banyak anak muda penghuni skena punk Belanda. Keseriusan mereka mengundang kekacauan ketika mayoritas dari para punks bermasalah dengan sikap politik Rondos dan Red Rock Collective. Yang paling signifikan adalah sikap Rondos yang amat menentang penggunaan narkoba dan alkohol ketika para punks sangat doyan mabuk. Ini terjadi jauh hari sebelum Minor Threat mempopulerkan gaya hidup straight edge di NY.

Zine Pleeboy, milik Henk dkk

Sikap Maarten van Gent dan kawan-kawannya terhadap etos D.I.Y. pula kerap memunculkan konflik dengan beberapa label dan rekaman saat itu. Salah satunya adalah pemilik Haddock’s Recordshop yang mereka kritik sebagai label rip-off. Saking kesalnya, Leo Schelvis sang pemilik label sampai merilis flexi-disc khusus anti-Rondos. Rondos akhirnya mendeklarasikan bubar pada tahun 1980 seiring dengan beredarnya rilisan terakhir mereka Which Side Will You Be On?. Pada sampul 7” tersebut mereka menulis alasan pembubaran itu;

“The Rondos quit. This is our last record. We brought the rondos to a conclusion, because in our opinion we became too succesful. and being succesful means accepted. Besides; a great part of the punk-movement is developing in a direction which is not ours; violence, alcohol, confirmation and commerce/business. But the struggle continues! we keep fighting with other means”.

This slideshow requires JavaScript.

Hal unik lain perihal legacy Rondos di kemudian hari kembali muncul di benak saya dan menimbulkan banyak pertanyaan menarik. Suatu hari saya menemukan fanzine Maximum Rock ‘N’ Roll yang memuat wawancara Seein Red. Di situ mereka menyebut Rondos sebagai pengaruh terbesar dalam perjalanan semua personil Seein Red. Rondos dan Red Rock Collective membuat mereka pada suatu hari memutuskan untuk membentuk Lärm pada tahun 1981, sebuah band hardcore yang memainkan punk dengan kecepatan ultra dan brutal*.

Band-band hardcore Belanda pasca-Rondos

Para alumnus Lärm yang bertebaran di Profound, Seein Red dan yang masih eksis hingga hari ini Manliftingbanner, secara musikalitas bermain hardcore cepat yang jauh berbeda dengan punk a la Rondos. Mereka secara musik lebih memiliki banyak persamaan dengan hardcore New York era pertengangan 1980-an pasca Minor Threat populer. Hardcore penuh energi dengan bagian breakdown yang khas.

Urusan Seein Red/Lärm dan Rondos ini yang cukup menjelaskan pertanyaan lama saya perihal mengapa skena hardcore Belanda jauh berbeda dalam urusan lirik dan sikap politik (banyak terpengaruh marxisme dan anarkisme) dibanding band yang musiknya sama di Amerika Serikat, yang liriknya tak pernah jauh dari hal-hal yang lebih generik seperti persatuan skena dan menjadi sekedar pemuda anti-narkoba. Semisal Youth of Today, Gorilla Biscuit, Bold, Chain of Strength, Turning Point, hingga Uniform Choice.

Ini bisa sangat jadi karena tradisi marxisme di Belanda yang cukup panjang sejarahnya, sedemikian rupa mengakar sehingga menjadi bagian dari skena musik mereka, terlebih skena hardcore punk. Sejarah gerakan ini pula diceritakan pada buku berjudul Rood Rotterdam yang ditulis oleh para anggota Rondos. Pada buku yang mereka terbitkan sendiri itu banyak menjelaskan sejarah gerakan kiri dan aktivisme anti-fasis di Belanda sekitar 1930-an termasuk mewawancarai para aktivis anarkis, sosialis dari berbagai kelompok revolusioner sebelum Perang Dunia, salah satunya adalah ISDV (Indische Sociaal-Democratische Vereniging) yang berarti Perhimpunan Demokratis Sosial Hindia.

Mendengar ISDV saya jadi teringat pada Sneevliet. Orang Belanda yang membawa marxisme pertama kali ke Indonesia. Bernama lengkap Hendricus Josephus Franciscus Marie Sneevliet asal Rotterdam. Ia adalah seorang aktivis perburuhan yang kerap mengorganisasi gerakan kaum pengangguran, aksi-aksi mogok, dan perjuangan melawan bangkitnya fasisme di tahun 1930-an.

Sneevliet datang ke Hindia Belanda alias Indonesia pada tahun 1913 dengan tujuan melawan penindasan kapitalisme yang dilakukan lewat kolonialisme oleh negaranya sendiri sekaligus feodalisme dan keistimewaan yang dimiliki segelintir elit pribumi. Ia mendirikan ISDV yang memperkenalkan ide-ide marxisme dan ideologi kerakyatan kepada kaum terpelajar bumiputera yang sedang mencari jalan untuk melawan kekuasaan penjajah pada saat itu.

Di kemudian hari para bumiputera itu bergenerasi menjadi figur-figur penting dalam mozaik perjuangan kemerdekaan nasional. Dari Tan Malaka, Haji Misbach hingga Suryopranoto, Si Raja Pemogokan (Kakak Suwardi Suryaningrat alias Ki Hajar Dewantara). Peran Sneevliet ini dipaparkan cukup jelas oleh Takashi Shiraishi pada bukunya Zaman Bergerak: Radikalisme Rakyat Di Jawa 1912 – 1926, atau buku Kemunculan Komunisme di Indonesia karya Ruth T. McVey, dan Majalah Historia Edisi 13/2013.

Sneevliet pada akhirnya diusir Pemerintah Kolonial Hindia Belanda karena aktivitasnya membantu gerakan-gerakan pemberontakan di Indonesia. Ia kembali ke Belanda pada tahun 1918. Sempat kembali dipenjara oleh pemerintah Belanda gara-gara menyebarluaskan kabar pemogokan di kapal perang Zeven Provincien yang ikonik itu pada tahun 1933. Pemberontakan anti-kolonial pertama yang melibatkan ratusan buruh/awak kapal bangsa Indonesia dan bangsa Belanda. Salah satu dampak pemogokan ini bahkan hidup hingga hari ini, dalam bentuk Haatzai Artikelen yang dipakai penguasa dari rezim ke rezim untuk menjerat siapapun yang mengancam status quo dengan dalih menyebarkan kebencian.

Sneevliet di Semarang, 1917

Hidup Sneevliet sendiri berakhir dalam perjuangannya yang konsisten melawan fasisme, ia dihukum mati oleh pemerintah pendudukan Nazi Jerman saat mereka menduduki Belanda pada tahun 1942.

Nama panggilan Sneevliet adalah Henk. Mendadak saya teringat juga pada Henk satu lagi, yang pernah datang ke markas Harder Records, Bandung di tahun 2000, di akhir ‘Musim Semi Papua’. Persamaan antara dua Henk ini, selain kota asal, adalah sama-sama membawa hal penting ke sini. Bedanya, Henk Madrotter kala itu berjasa menyelamatkan kami di era kegelapan referensi dan pencerahan, dengan memperkenalkan banyak keajaiban musikal. Company Flow dan Rondos di antaranya..

*PS:

Bermain cepat dan brutal saat itu masih belum populer di skena hardcore di awal 1980-an, tepatnya di tahun 1981. Dengan Lärm sebagai band punk brutal pertama di Belanda, saya mulai tertarik untuk mencari tahu siapa yang lebih dahulu bermain punk demikian di Inggris dan Amerika, dua teritori yang memiliki jejak dan kontribusi besar dalam evolusi punk. Ini menarik karena punk dengan intensitas gila seperti itu merupakan cikal bakal grindcore, bentuk ekstrem dari metal yang populer di dekade selanjutnya, di seluruh dunia.

Lagi-lagi saya tak mendapatkan jawaban pasti, Bahkan buku Choosing Death: The Improbable History of Death Metal and Grindcore tak banyak menolong. Yang pasti Lärm menginspirasi Extreme Noise Terror (ENT) dan Napalm Death yang notabene pelopor grindcore. Personil ENT sendiri mengakui bahwa nama mereka diambil dari tulisan pada insert album debut Lärm. Beberapa band lain seperti Plasmid dari Ipswich, Inggris dan Siege dari Boston atau Deep Wound dari Massachusetts, Amerika, bermain brutal pula di era yang hampir bersamaan. Perbedaannya mungkin Plasmid berangkat dari skena crust punk dan terpengaruh banyak anarkisme pasca Crass, lebih ideologis dan memiliki konten lebih serius dari band-band Amerika yang juga bermain cepat.

 

Posted in: Uncategorized