Hanya tulisan ringan... yang bisa jadi dialami orang lain juga dalam kisah yang berbeda
Sebut saja namanya Jefri. Pria muda usia 36 tahun. Sarjana Ekonomi dari sebuah universitas top yang sekian tahun silam direkrut oleh sebuah perusahaan besar.Â
"Andai waktu bisa diputar kembali, mungkin saya tak memilih untuk bekerja di situ," ada nada penyesalan di suaranya.
Dia kembali menyesap kopi hitam dari gelas kecil di depannya.Â
Lalu diisapnya kembali rokok di tangan kananya, kemudian menghembuskan asapnya.Â
"Sewaktu bujang, kita buta soal pernikahan dan segala tetek bengeknya. Tapi setelah berada di dalamnya, bisa terkaget-kaget Dolf," ucapnya
Sahabatku ini sudah jarang pulang sekian tahun bertemu istri dan anak semata wayangnya. Kantornya memindahkan dia ke sebuah kabupaten terpencil di sebuah provinsi.
"Sebuah pilihan yang sulit kala itu. Bila tak diambil, karirku akan lama dan stagnan di staf saja," tuturnya sembari matanya menatap kosong ke dinding.Â
Disesap lagi cairan pekat hitam dan lagi menyemburkan asap kreteknya.
Tujuh tahun lalu Jefri menerima pilihan dari perusahaannya untuk promosikan sebagai Head (atasan) mengepalai sebuah divisi di satu kantor cabang pembantu yang baru di buka.Â
Itu membawanya terbang jauh meninggalkan sang istri dan anak perempuannya.Â
Di awal semuanya terasa indah. Nikmat mana yang kau dustai ketika naik golongan, fasilitas bertambah dan gaji melonjak. Meski beda pulau dan lintas provinsi, namun pasangannya memilih tak ikut.Â