CakNun.com

Improvisasi Jazz dan Tasawuf Mas Beben

Dok. Kenduri Cinta

Di tahun 2012, akses informasi belum semudah hari ini. Saat itu, saya masih kuliah di Jogja. Menikmati Kenduri Cinta melalui tagar-tagar yang berseliweran di linimasa. Sampailah pada satu edisi Kenduri Cinta yang saat itu Mas Beben hadir. Dari foto-foto yang saya lihat di linimasa, tampak sangat meriah KC malam itu. Sampai di tengah-tengah acara, Mbah Nun mengumumkan bahwa KC edisi selanjutnya bertemakan Jazz 7 Langit! Wah!

Menjelang perhelatan Jazz 7 Langit itulah pertama kali saya bertemu dengan Mas Beben, di Kadipiro. Saat itu, Mas Gandhie mengajak saya untuk ikut melihat persiapan KiaiKanjeng latihan bersama Mas Beben dan Mbak Inna Kamarie untuk Jazz 7 Langit di Pendopo Kadipiro.

Di Maiyah, saat kita mendengar kata Jazz, maka satu nama yang muncul adalah Beben Jazz. Lhaiya, prejengane arek-arek Maiyah, terutama di Kenduri Cinta nggak ada potongan untuk bisa menikmati Jazz. Tapi, Mas Beben yang memperkenalkan musik Jazz di Maiyah, diawali di Kenduri Cinta. Dan memang secara mainstream juga tata ruang Maiyahan di Kenduri Cinta jelas ndak memenuhi standar sama sekali untuk performance musik jazz.

Orang yang baru pertama kali menikmati musik jazz, pasti akan merasa aneh mendengarkan alunan musiknya. Ndak karuan, imrpovisasi sana-sini, hentakan drum-nya juga aneh, petikan gitarnya berbelit-belit, juga alunan pianonya. Wah, blass ndak mashook buat kita-kita yang memang lebih suka aliran musik yang menghentak.

Tapi, Mas Beben mampu membuat teman-teman Jamaah Maiyah menikmati musik Jazz. Lagu Fly me to the moon dan Summer time berulang kali dibawakan oleh Mas Beben dan Mbak Inna Kamarie di Kenduri Cinta. Sejak Mas Beben bersentuhan dengan Maiyah di Kenduri Cinta, sejak saat itulah teman-teman Jamaah Maiyah mulai agak berani sesumbar; Urip iku kudu nge-Jazz, rek!!!

Dok. Kenduri Cinta

Jazz 7 Langit” yang diawali di Kenduri Cinta dan berlangsung semarak nan meriah, yang kemudian juga sukses dibawa oleh Mas Beben ke beberapa kota. Jazz 7 Langit adalah salah satu kenangan indah Mas Beben bersama Maiyah. Sejak saat itu, Mas Beben sering dikenali oleh teman-teman Jamaah Maiyah saat sedang jalan-jalan di sebuah Mal, dan selalu yang menjadi awal obrolan adalah; Maiyah dan Kenduri Cinta. Dan Mas Beben sangat gembira dengan persambungan silaturahmi itu.

Dalam salah satu edisi Kenduri Cinta saat Mas Beben hadir, Mbah Nun meminta Mas Beben bebas memainkan aransemen melalui gitarnya, Mbah Nun kemudian melantunkan shalawat “Da’unii… Da’unii…” Spontan, namun apik. Hal yang sama juga terjadi saat Cak Kartolo ludrukan diiringi alunan gitar Mas Beben.

Mbah Nun selalu mengajak kita terus latihan berpikir zig-zag, untuk selalu menyesuaikan diri terhadap setiap kemungkinan, untuk terus melangkah sebelum benar-benar buntu. Di Maiyah, Mbah Nun selalu melatih kita untuk semakin fasih agar mampu adaptif dalam segala situasi. Mas Beben dengan Jazz-nya jelas sangat kompatibel dengan Maiyah, karena di dalam Jazz alunan nada dari setiap alat musiknya itu penuh dengan improvisasi.

Jangan mempertanyakan apakah Shalawatan diiringi Gitar itu bid’ah atau tidak? Atau juga mempertanyakan estetika budaya ketika Cak Kartolo ludrukan diiringi petikan gitar Mas Beben. Justru disitulah kita menyaksikan Jazz yang sesungguhnya. Seperti kisah Yai Sudrun berteriak merengek di tengah jalan yang sering diceritakan oleh Mbah Nun. Yai Sudrun menggugat manusia karena lalai terhadap kasih sayang Kanjeng Nabi Muhammad Saw. Kita masih terpenjara dalam sekat-sekat bahwa agama hanya hadir di Masjid dan bilik Mushalla.

Dok. Kenduri Cinta

Begitu juga ketika Mbah Nun mengajak kita memasuki revolusi tadabbur Al-Qur`an, kita diajak loncat dari satu ayat ke ayat yang lainnya, Mbah Nun mengajak kita merdeka dalam menjelajahi Al-Qur`an. Benar-benar secara merdeka. Dan itulah nafas utama musik Jazz yang Mas Beben sangat menjiwainya. Begitulah adanya energi Jazz mengalir dalam kehidupan kita. Dan menurut Mbah Nun, Jazz adalah sikap hidup manusia. Tidak mungkin manusia hidup dalam situasi yang flat secara terus-menerus.

Demikan juga tatkala Mas Beben mendalami ilmu Tasawuf. Entah sejak kapan Mas Beben mendalami Tasawuf, yang pasti sudah digariskan oleh Allah bahwa Mas Beben pada akhirnya tersambung juga dengan Syeikh Nursamad Kamba, professor Tasawuf kita di Maiyah. Mas Beben tidak pernah melepaskan ikatan ilmu Tasawuf dari bahasan musiknya ketika berbicara di Kenduri Cinta. Saat masa pandemik setahun terakhi ini pun, ia rajin membuka kelas online untuk berdiskusi dalam “Tasawuf Jazz.”

Mas Beben mengimproviasi musik Jazz dengan Tasawuf. Puisi-puisi karyanya yang dibukkukan dalam “Allah is My Audience” membuktikan betapa Mas Beben sangat menjiwai Tasawuf. Penampilan Mas Beben boleh sangat Jazzy saat berpakaian, namun siapa yang menyangka jika Tasawuf juga mendarah daging dalam diri Mas Beben. Bagi Mas Beben, Allah adalah audiens utamanya. Kalimat ini merujuk pada satu tema Kenduri Cinta di penghujung tahun 2013 silam. Mas Beben menggenggam erat kalimat dari Mbah Nun itu, hingga akhir hayatnya.

Ada satu episode perjalanan Mas Beben yang mungkin tidak banyak orang mengetahuinya. Jauh sebelum Mas Beben menekuni musik, ia adalah seorang atlet bulutangkis yang berprestasi dalam mewakili Indonesia di berbagai ajang turnamen dunia.

“Jazz adalah manifestasi dari kebebasan, Jazz adalah bahagia dengan apa yang dimiliki”, begitulah Mas Beben mengekspresikan Jazz di Kenduri Cinta. Mas Beben menemukan kebebasan dan kemerdekaan Jazz dan Tasawuf di Maiyah. Meskipun merdeka dan bebas, Mas Beben tetap teguh pada pijakan; Allah is my audience.

Dok. Kenduri Cinta

Selamat jalan, Mas Beben. Improvisasi Jazz dan Tasawufmu saat ini menggema di langit. Selamat menuju ke keabadaian, Mas Beben. Sampaikan salam kami untuk Kanjeng Nabi Muhammad Saw. Siapa tahu Mas Beben ketemu sama Syeikh Nursamad Kamba, Bunda Cammana, dan Kyai Muzzammil, sampaikan juga salam rindu dari kami.

Jakarta, 5 Juli 2021.

Lainnya

Bahasa Penghancur Negara: Membincang Denotasi-Konotasi

Bahasa Penghancur Negara: Membincang Denotasi-Konotasi

Empat tahun silam dalam sebuah acara diskusi bertajuk Menemukan Kembali Denotasi di PKKH, UGM, Cak Nun dan Profesor Faruk mewedar fenomena kebahasaan di masyarakat yang makin karut-marut.