QnA: Kenapa Rakyat Hong Kong Tolak RUU Ekstradisi ke China?

12 Juni 2019 10:50 WIB
comment
3
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Para demonstran berunjuk rasa menentang RUU ekstradisi, di Hong Kong, Minggu (9/6). Foto: REUTERS/Tyrone Siu
zoom-in-whitePerbesar
Para demonstran berunjuk rasa menentang RUU ekstradisi, di Hong Kong, Minggu (9/6). Foto: REUTERS/Tyrone Siu
ADVERTISEMENT
Sejak akhir pekan lalu ratusan ribu warga Hong Kong dari berbagai lapisan turun ke jalan. Mereka menyuarakan penentangan atas Rancangan Undang-undang ekstradisi yang akan dibahas di parlemen pekan ini.
ADVERTISEMENT
Aksi massa terus berlanjut hampir setiap hari semenjak itu, bahkan digelar juga di Sydney dan London. Beberapa aksi berujung bentrok dengan aparat. Kendati demikian, massa tidak mengendurkan kehadiran mereka.
Pada Rabu (12/6), massa kembali turun ke jalan dengan jumlah yang tidak kalah besar. Jalanan utama dipenuhi lautan massa, mengganggu aktivitas perkantoran di salah satu kota pusat bisnis Asia itu.
Sebenarnya, apa sih RUU Ekstradisi yang mereka protes itu?
Hong Kong memang punya perjanjian ekstradisi dengan 20 negara dunia, tapi tidak dengan tiga wilayah, yaitu China daratan, Makau, dan Taiwan. Nah, RUU ekstradisi ini mengatur pengiriman pelaku kejahatan dari Hong Kong ke tiga wilayah tersebut.
Jika diloloskan parlemen, maka ini adalah pertama kalinya dalam sejarah Hong Kong bisa mengekstradisi pelaku kejahatan ke China daratan.
Para demonstran memegang payung berwarna kuning, simbol gerakan Occupay Central, menuntut agar membatalkan RUU ekstradisi, Hong Kong. Foto: Reuters
Pembahasan RUU ini dimulai sejak Februari lalu. Pemicunya adalah kasus pembunuhan seorang wanita hamil oleh kekasihnya, pria Hong Kong bernama Chan Tong-kai, ketika keduanya berlibur di Taiwan awal tahun ini.
ADVERTISEMENT
Chan berhasil kabur ke Hong Kong. Taiwan telah meminta agar Chan diekstradisi, namun tidak bisa karena tak punya perjanjian untuk itu.
Agar tidak terjadi masalah serupa di masa mendatang, RUU Ekstradisi diajukan di parlemen. Pendukungnya, termasuk Kepala Eksekutif Hong Kong Carrie Lam, khawatir Hong Kong akan jadi wilayah pelarian para pelaku kejahatan.
Bukankah Hong Kong bagian dari China, kok perlu perjanjian ekstradisi sih?
Memang betul. Hong Kong jadi bagian dari China pada 1997 setelah diserahkan oleh kolonial Inggris. Namun berdasarkan perjanjiannya, Hong Kong masih menerapkan sistem pemerintahan, sosial, dan politik mereka sendiri, berbeda dengan sistem satu partai China.
Massa aksi protes menolak RUU Ekstradisi di Hong Kong (12/6). Foto: Reuters
Itulah sebabnya ada istilah "satu negara, dua sistem" untuk wilayah berpenduduk 7,3 juta orang ini. Di wilayah semi-otonom Hong Kong, rakyat punya kebebasan lebih banyak dalam menggelar aksi protes, mengkritik pemerintah, hingga kebebasan media. Hal-hal tersebut adalah kemewahan di China.
ADVERTISEMENT
Di bawah sistem ini, aparat keamanan China, seperti polisi dan tentara, juga tidak bisa beroperasi di Hong Kong. Perjanjian ini berlangsung selama 50 tahun. Nantinya pada 2047, Hong Kong akan sepenuhnya memegang sistem China.
Oke, Lantas apa argumen penolak RUU ini?
Mereka berargumen, RUU ekstradisi ini akan digunakan pemerintah China untuk mengincar musuh-musuh politik mereka di Hong Kong. RUU ini juga dikhawatirkan semakin mengikis prinsip "satu negara, dua sistem" dengan campur tangan China di pengadilan Hong Kong.
Masyarakat Hong Kong menilai China perlahan mulai merasuki sendi kehidupan mereka. Salah satunya soal pemilihan pemimpin. Carrie Lam terpilih pada 2017 oleh komisi berisikan 1.200 pejabat pro-Beijing. Setengah anggota parlemen Hong Kong juga tidak dipilih lewat pemilihan umum.
Para demonstran memegang poster menuntut agar membatalkan RUU ekstradisi, Hong Kong, Minggu (9/6). Foto: REUTERS/Thomas Peter
Warga Hong Kong juga tidak percaya dengan sistem pengadilan China. Berbagai lembaga HAM yang dikutip Reuters menuding China melakukan pelanggaran hak asasi terhadap tahanan, termasuk penyiksaan, pengakuan paksa, hingga ketiadaan akses pengacara.
ADVERTISEMENT
Para pengusaha juga khawatir RUU ini akan menghilangkan kepercayaan investor di Hong Kong. Amerika Serikat yang tengah perang dagang dengan China juga khawatir dengan RUU ini. Mereka mengatakan, warga AS di Hong Kong terancam jadi sasaran penangkapan China.
Pada 2019, China berada di posisi 82 dari 126 negara di dunia dalam Indeks Penegakan Hukum yang dirilis World Justice Project.
Terus, bagaimana pemerintah Hong Kong menanggapi protes?
Carrie Lam, seperti diberitakan AFP, mengatakan pemerintahnya mendengar aspirasi masyarakat. Namun dia menegaskan akan melanjutkan pembahasan RUU tersebut di parlemen.
Kepala Eksekutif Hongkong, Carrie Lam. Foto: AFP/ANTHONY WALLACE
Dia juga membantah telah menerima perintah dari China terkait RUU ini. "RUU ini tidak hanya soal (China) daratan saja. RUU ini tidak diinisiasi oleh pemerintahan pusat. Saya tidak menerima perintah apapun atau mandat dari Beijing terkait RUU ini," tegas Lam.
ADVERTISEMENT
Sebagai jawaban atas desakan masyarakat, Lam mengatakan akan membubuhkan amandemen tambahan dalam RUU tersebut.
Amandemen tambahan, apa itu?
Carrie mengatakan amandemen tambahan itu mencakup soal perlindungan hak asasi manusia para tahanan. Hal ini mengatur soal 37 pelanggaran hukum yang layak diekstradisi, termasuk penipuan dan kejahatan kerah putih.
Namun mereka yang diekstradisi haruslah melakukan pelanggaran dengan ancaman hukuman paling tidak 7 tahun penjara. Ekstradisi tidak akan dilakukan bagi mereka yang terancam hukuman mati di China. Hong Kong sendiri sejak 1993 telah menghapus hukuman mati.
Para demonstran memegang poster menuntut agar membatalkan RUU ekstradisi, Hong Kong, Minggu (9/6). Foto: REUTERS/Thomas Peter
Dalam amandemen juga diatur bahwa permohonan ekstradisi hanya bisa dilakukan oleh pengadilan tinggi dan jaksa agung China. Persetujuan ekstradisi dikeluarkan oleh Lam dengan nota tambahan bahwa China harus menghargai asas praduga tak bersalah, hak banding, pengadilan terbuka, dan norma peradilan internasional lainnya.
ADVERTISEMENT
Kalau China, apa reaksi mereka?
Pemerintah China juga membantah berada di belakang RUU ini. Namun mereka menyatakan mendukungnya, seperti yang disampaikan Kementerian Luar Negeri China pekan ini.
The Guardian mengutip editorial media corong pemerintah China, China Daily, yang mengatakan bahwa RUU itu sangat beralasan dan "akan memperkuat penegakan hukum Hong Kong".
Para demonstran menuntut agar membatalkan RUU ekstradisi, Hong Kong. Foto: Reuters