Senin, 10 Februari 2020

Wajah Asli Manusia

Kita semua mengenakan topeng, karena tak sempurna. 
Sebagian orang sadar mengenakan topeng, 
sebagian lain menganggap topeng itu wajahnya.


Meski mungkin kita menyangkal, kenyataannya manusia punya sisi gelap, meski sisi itu sering kali tak tampak. Karena kita menyembunyikan, atau karena belum ada kesempatan untuk menunjukkannya. 

Kita bisa mengenali sisi gelap manusia—khususnya orang-orang terdekat—saat kita berada di posisi yang rapuh, misal dirundung masalah, menghadapi kebangkrutan, jatuh miskin, dan semacamnya. Dalam posisi semacam itu, biasanya akan tampak mana saudara dan teman sejati, serta mana yang pura-pura menjadi teman atau saudara.

Atau sebaliknya, kita bisa melihat wajah asli manusia, ketika mereka memiliki kesempatan untuk menunjukkannya. Misal menduduki jabatan tertentu, atau memegang kekuasaan, atau tiba-tiba mendapat kekayaan. Saat hal itu terjadi, kita biasanya akan melihat mana orang yang benar-benar baik, dan mana yang hanya pura-pura menjadi orang baik.

Orang sering mengatakan bahwa kekayaan atau kekuasaan bisa mengubah manusia. Sebenarnya tidak. Kekayaan atau kekuasaan justru memperkuat karakter asli manusia—orang per orang—hingga karakter asli itu akan tampak jelas.

Ketika orang baik diberi kekayaan atau kekuasaan, karakter baiknya akan semakin kuat, menonjol, dan kian tampak—dia akan menunjukkannya lewat kekayaan atau kekuasaan yang dimiliki. Karakter baik tidak bisa dirusak oleh kekayaan atau kekuasaan. Jika seseorang memang baik, dia akan tetap baik—dalam kemiskinan atau dalam kekayaan, saat lemah atau ketika memiliki daya.

Sebaliknya, kekayaan atau kekuasaan juga akan memperkuat karakter buruk manusia. Orang tidak bisa serta merta menjadi baik hanya karena mendapat kekayaan atau kekuasaan, kalau dasarnya berkarakter buruk.

Kita mungkin sering mendapati orang yang terkesan baik ketika miskin, tapi kemudian berubah jahat ketika kaya. Dalam kasus lain, ada orang yang semula tampak humanis ketika menjadi rakyat biasa, tapi berubah menjadi iblis ketika mendapat kekuasaan.

Apakah memang kekayaan dan kekuasaan itu yang mengubah mereka? Sebenarnya tidak. Kekayaan dan kekuasaan tidak bisa mengubah sifat asli manusia—ia hanya memperkuat karakter aslinya. Yang baik akan semakin tampak karakter baiknya, begitu pula yang buruk atau jahat.

Ada banyak orang yang tampak baik, semata-mata karena miskin, lemah, dan tak berdaya. Sebegitu lemah dan tak berdaya, sampai mereka tidak berani menunjukkan karakter aslinya yang sebenarnya buruk dan jahat. Karenanya, begitu mendapat secuil kekayaan atau seupil kekuasaan, karakter asli mereka pun keluar. Banyak yang begitu.

Karenanya, jika ingin tahu seperti apa sifat atau karakter asli seseorang, jangan lihat ketika dia tidak punya kesempatan atau keberanian untuk menunjukkan wujud aslinya. Lihatlah ketika dia punya daya dan kesempatan untuk menunjukkannya. Saat manusia diberi kekuasaan sekaligus kesempatan untuk melakukan apa pun yang ingin ia lakukan, kita akan tahu seperti apa sisi gelap orang per orang.

Sisi gelap dan wajah asli manusia pernah disingkap dengan cara yang sangat artistik sekaligus mengerikan, oleh Marina Abramovic, seorang seniman pertunjukan asal Yugoslavia.

Pada 1974, Marina Abramovic punya ide melakukan eksperimen seni, dengan menjadikan dirinya sebagai objek. Belakangan, eksperimen itu berubah menjadi peristiwa berbahaya, kontroversial, sekaligus menjadi penemuan psikologi paling mengerikan mengenai wajah asli manusia.

Marina menyebut eksperimen itu sebagai Ryhthm 0. Pertunjukannya sederhana. Dia berdiri di hadapan para penonton, diam tak bergerak. Di dekatnya berdiri, ada sebuah meja yang menyediakan 72 barang, termasuk parfum, bunga mawar, gunting, paku, batang logam, dan pistol yang diisi dengan satu peluru.

Dalam pertunjukan itu, Marina akan berdiri diam selama 6 jam, dan membebaskan penonton melakukan apa saja terhadap dirinya, dengan menggunakan benda-benda yang tersedia di atas meja. Dia tidak akan bergerak, apalagi memprotes, terlepas apa pun yang dilakukan penonton terhadap dirinya. Waktu itu, ada banyak penonton yang menyaksikan pertunjukannya, pria maupun wanita.

Semula, para penonton hanya diam memandangnya. Marina berdiri mematung, tak bergerak sedikit pun. Lalu ada penonton yang mencoba mendekat, dan menyentuh pipi Marina dengan lembut. Marina masih diam, tak bergerak. Penonton lain mendekat, mengambil bunga mawar di meja, lalu menyelipkannya di baju Marina. Sekali lagi, Marina hanya diam, tak bergerak.

Penonton lain lalu tergelitik melakukan hal yang lebih berani, dengan mencium Marina, atau melakukan hal lain semacamnya. Marina tetap diam.

Detik-detik berlalu. Perlahan namun pasti, sisi gelap manusia mulai muncul, dan menampakkan wajah aslinya.

Seorang penonton mulai meraba dan mempermainkan tubuh Marina. Ketika Marina masih diam, yang lain ikut mengeksploitasi tubuh wanita itu. Ada yang menyentuh bagian sensitif, ada yang menggunting pakaiannya, dan lain-lain. Saat pertunjukan itu memasuki jam keempat, Marina sudah hampir telanjang, karena pakaiannya telah dicabik-cabik.

Sisi gelap orang-orang di sana kian pekat. Setelah tubuh Marina bebas terbuka karena tak ada lagi pakaian yang bisa dicabik, mereka mulai melakukan pelecehan seksual. [Belakangan, Marina menyatakan bahwa saat itu tidak sampai terjadi perkosaan, karena ada banyak penonton, dan sebagian besar penonton—khususnya para pelaku pelecehan terhadap dirinya—datang ke sana bersama pasangannya.]

Meski aksi mengerikan itu tidak sampai pada perkosaan, bukan berarti “baik-baik saja”. Sebagian penonton tampaknya tidak bisa lagi mengendalikan sisi gelapnya, dan mereka mulai menggunakan pisau untuk menggores kulit Marina. Ada yang membuat goresan namanya pada kulit wanita itu, bahkan ada yang menggoreskan pisau di dekat leher Marina, lalu mengisap darahnya.

Marina masih diam, meski dia tentu merasakan sakit, pedih, sekaligus terluka. Tapi dia sama sekali tak bergerak. Memasuki jam kelima, mata Marina berkaca-kaca, dengan sorot yang jelas menampakkan penderitaan. Tetapi, sekali lagi, dia sama sekali tak bergerak.

Dalam kondisi nyaris telanjang, dengan tubuh yang dieksploitasi dan penuh luka goresan berdarah, Marina terus berdiri diam. Sebagian penonton memotret hal tersebut, seolah Marina hanya seonggok patung atau benda mati. Mereka seperti lupa bahwa sosok yang berdiri diam di sana adalah manusia, seorang wanita, dengan napas dan nyawa, dengan hati dan pikiran, seperti diri mereka.

Memasuki jam keenam, salah satu penonton di sana—seorang wanita—mendekati Marina, dan memeluknya. [Belakangan, Marina mengakui bahwa pelukan itu “meredakan penderitaannya”.] Setelah satu wanita memeluk Marina, beberapa orang lain mulai tergerak untuk ikut peduli. Ada yang berusaha mengobati luka-luka di tubuh Marina, ada pula yang berusaha menutupi tubuh Marina yang terbuka.

Ironisnya, meski begitu, ada sebagian penonton yang sama sekali tidak peduli, bahkan berusaha menghalang-halangi. Sementara beberapa orang berusaha menolong, beberapa yang lain masih berusaha untuk melakukan kejahatan lain pada Marina. Seseorang bahkan meraih pistol di meja, dan nyaris menembakkannya ke kepala Marina.

Tampaknya, orang-orang yang terus menyakiti Marina seperti berusaha memanfaatkan kesempatan yang ada untuk berbuat sesukanya. Mungkin, pikir mereka, “Kapan lagi bisa menyakiti dan melukai orang lain tanpa konsekuensi?”

Akhirnya, ketika jam pertunjukan telah selesai—enam jam tepat—kejutan terjadi secara tak terduga. Waktu itu, Marina mulai bergerak dari diam mematungnya, dan orang-orang tampak shock. Mereka seperti lupa bahwa Marina masih manusia, dan bisa bergerak seperti mereka, seperti umumnya manusia lain.

Ketika Marina mulai bergerak, sebagian orang—yang tadi melakukan kejahatan kepadanya—tampak ketakutan, beberapa di antaranya sampai lari meninggalkan tempat pertunjukan.

Pertunjukan itu sukses, bahkan tercatat dalam sejarah, menjadi kajian penting dalam psikologi. Meski, untuk itu, Marina mengalami shock dan trauma berat. Dia bahkan sempat kesulitan mengembalikan dirinya sebagai manusia seutuh semula, setelah menjadi objek diam selama 6 jam. “Itu benar-benar horor,” ujarnya, dalam sebuah wawancara.

Eksperimen yang dilakukan Marina dengan jelas mengungkapkan sisi gelap manusia. Bahwa ketika manusia diberi kuasa atau kebebasan untuk melakukan apa pun yang diinginkan, mereka akan menunjukkan watak aslinya, menyingkapkan wajah aslinya.

Orang-orang tidak melakukan kejahatan dan melukai sesamanya, sering kali bukan karena menyadari itu buruk, tapi karena mengingat konsekuensinya. Bahkan meski ada konsekuensi pun, orang kadang masih nekad dan gelap mata. Mereka membegal orang lain, karena kebutuhan mendesak atau karena kerakusan, sebagaimana mereka yang menindas orang lain karena merasa memiliki kekuasaan.

Bayangkan apa yang sekiranya akan terjadi, kalau suatu hari pemerintah mengumumkan, “Selama enam hari ke depan, tidak ada hukum yang berlaku di negara ini. Kalian bebas melakukan apa pun, kepada siapa pun, tanpa ada konsekuensi sama sekali.” Kira-kira, apa yang akan terjadi selama enam hari itu?

Hanya ada satu kata; kekacauan.

Kekacauan yang akan benar-benar menunjukkan sisi gelap manusia, dan menyingkap wajah asli kita. Bayangkan saja apa yang terlintas dalam pikiran, andai “enam hari tanpa hukum” itu benar-benar terjadi. Dan apa pun yang ada dalam pikiran kita, itulah sisi gelap yang mungkin selama ini kita sembunyikan, kita sangkal, dan tak kita akui.

 
;