Mohon tunggu...
RuRy
RuRy Mohon Tunggu... Wiraswasta - Lahir di Demak Jawa Tengah

Orang biasa dari desa

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Saat Kita Tidak Sadar Sembilan Jari "Menunjuk" ke Muka Sendiri

18 Februari 2018   15:28 Diperbarui: 18 Februari 2018   19:53 2426
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: Shutterstock.com

Kita semua tahu betapa mudah mengarahkan jari kita pada orang lain saat sesuatu yang buruk terjadi. Dengan kata lain, selalu mengambinghitamkan (menyalahkan orang lain). Bila hal  semacam ini terjadi terus-menerus sama halnya kita menolak untuk berkembang dan dibentuk, karena kita sama saja menyia-nyiakan untuk belajar lebih baik.

Sumber penyakit kronis paling berbahaya adalah jika diri merasa benar. Inilah sumber segala penyakit yang menyerang jasmani dan rohani. Jika diri merasa benar, mata akan buta, pendengaran menjadi tuli, dan hati menjadi tumpul. 

Di saat orang merasa benar, ia tidak akan mampu menerima kebenaran yang ada di luar dirinya. Kebenaran hanya ada dan berasal dari dirinya. Buruk rupa cermin dibelah, kalau perlu dibanting biar pecah berkeping-keping. Padahal secara psikologis, manusia tidak bisa mengatasi masalahnya sendiri. Manusia selalu membutuhkan peran dari pihak lain dalam mencukupi kebutuhan hidup serta mengatasi masalah hidupnya.

Kita semua pernah membuat keputusan yang tidak semestinya. Bisa jadi kita melakukannya setiap hari tanpa kita sadari. Maka dari itu kita butuh interaksi, saling melengkapi, mengingatkan, dan juga saling belajar untuk berkembang. Jangan hanya suka menghakimi sesorang dan mengkritisi tanpa solusi, karena ini sudah termasuk penyakit hati yang berbahaya.

Pun tidak menutup kemungkinan orang yang sebenarnya baik terkadang dihadapkan dengan situasi dan kondisi yang sulit. Jadi, saat kita menujukkan jari kita ke orang lain, sebenarnya secara tidak langsung menunjuk kita sendiri.

Saat ego mendominasi diri kita cenderung silau melihat kesalahan diri dan samar melihat kebenaran yang ada pada diri orang lain. Hal inilah yang membuat kita hanya jalan ditempat dan sulit maju, karena materi-materi pembelajaran itu tidak mampu kita cerna dengan baik. Selalu ada akar masalah dalam setiap permukaan masalah. Namun kita hanya mampu melihat permukaannya saja, apakah karena faktor tendensi, atau ketidakmampuan diri?

Selalu ada sisi spiritual di setiap peristiwa

Jika kita hanya berpegang pada logika semata, sulit rasanya kita bisa membedah makna dalam setiap peristiwa.

Dibutuhkan kecerdasan spiritual (SQ). Kecerdasan ini penting,karena kemampuan jiwa untuk melakukan segala sesuatu berdasarkan sisi positif dan mampu memberikan makna spiritual dalam setiap perbuatan dan kejadian. Kecerdasan ini akan membuat kita lebih mengenali diri dan lingkungan dari sudut pandang yang positif sehingga orang yang memiliki kecerdasan spiritual mampu untuk bertindak bijaksana dan mampu memaknai kehidupan. 

Orang yang memiliki kecerdasan ini mampu membentuk dirinya menjadi pribadi yang utuh, mandiri, mampu melihat kegagalan, cobaan dan penderitaan dari sisi positif sehingga mampu melihat makna dari setiap kejadian yang menimpanya.

Untuk menjadi pribadi yang memiliki kecerdasan spiritual (SQ)  diperlukan kesadaran jiwa, perenungan, dan pembelajaran hidup terus-menerus, agar dapat memaknai segala sesuatu yang terjadi dalam hidup (yang dialami sendiri atau orang lain). Kecerdasan spiritual ini akan membuat orang menjadi bijaksana, memiliki empati, simpati dan rasa belas kasih terhadap sesama maupun alam semesta sehingga dapat menyeimbangkan kehidupan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun