Saat memulai perjalanan menjadi orang tua, kita pasti tahu kalau cara kita mengasuh anak akan berpengaruh pada tumbuh kembangnya. Namun, tak banyak yang tahu bahwa pola asuh umumnya dipengaruhi oleh pengalaman kita semasa kecil. Tak jarang, kita ingin menjadi orang tua demokratis, tapi kok ternyata hobi ngatur-ngaturnya seolah muncul otomatis. Bisa jadi, itu yang kita pelajari dari orang tua kita dahulu. Dampaknya pada anak tentu saja sangat besar. Untuk itu, kita perlu tahu dulu, pola asuh jenis apa yang kita lakukan saat ini sebelum memutuskan untuk mengubahnya atau mempertahankannya.
Pola asuh otoritarian
- Anak harus dilihat, bukan didengar
- Peraturan kita adalah yang paling baik untuk anak
- Perasaan anak tak terlalu penting
Terdengar familiar? Mungkin kita penganut pola asuh otoritarian. Pengasuhan gaya ini menuntut anak mengikuti peraturan tanpa pengecualian. “Karena Ayah/Ibu bilang begitu!” selesai pembicaraan. Tak ada alasan dibalik aturan, tak ada negosiasi ketika berhubungan dengan kepatuhan. Otoritarian menggunakan hukuman, membuat anak sering kali merasa bersalah akan perbuatannya. Orang tua dengan gaya asuh macam ini, akan menghasilkan anak yang mudah marah dan kurang percaya diri. Karena, opini menjadi tidak berharga dan mereka tidak terbiasa mengungkapkan pendapat.
Pola asuh otoritatif
- Membuat dan menjaga hubungan positif dengan anak adalah prioritas
- Selalu ada penjelasan dibalik aturan
- Ada konsekuensi di tiap tindakan, tapi tetap memikirkan perasaan anak
Bisa jadi, pola asuh kita adalah otoritatif. Pola asuh otoritatif memiliki peraturan dan konsekuensi, namun tetap mendengar apa yang anak ingin sampaikan. Walaupun orang tua tetap “berkuasa”, namun anak berhak memberikan opini. Sistem hadiah (reward) biasa digunakan dalam gaya asuh otoritatif sebagai salah satu strategi disiplin. Anak akan cenderung lebih bahagia dan sukses dalam pengasuhan ini, karena mereka terbiasa mengungkapkan pendapat tanpa mengesampingkan konsekuensi dari apa yang dilakukan. Mereka dengan mudah membuat keputusan dan mengevaluasi segala resiko dengan baik.
Pola asuh permisif
- Ada peraturan, tapi sering kali lalai
- Tak ada konsekuensi perbuatan
- Anak akan belajar lebih baik dengan sedikit intervensi
Jika kita setuju pernyataan di atas, kita menganut pola asuh permisif: cenderung santai dan hanya bereaksi ketika ada masalah yang serius. Permisif cenderung mudah memaafkan dan menerima bahwa kids will be kids. Saat ada aturan terlanggar, permisif akan dengan mudah memberikan kelonggaran, apalagi saat mereka menangis atau memohon.
“Janji, ya enggak diulangi lagi?” beres sudah. Anak dengan gaya asuh ini cenderung kesulitan dengan masalah akademik. Mereka juga akan sulit mematuhi peraturan karena mereka tidak paham dan tidak menghargai hal itu. Tak terkecuali masalah kesehatan, karena orang tua akan dengan mudahnya membiarkan mereka makan asupan tidak baik seperti gula dan junk food.
Pola asuh abai
- Jarang bertanya soal pekerjaan rumah atau urusan sekolah anak
- Tak tahu dengan siapa ia bergaul
- Sedikit sekali waktu yang diluangkan untuk anak
Sedihnya, ini adalah ciri pola asuh abai. Kita tak paham apa yang sedang terjadi pada anak, dan kurang menaruh perhatian pada perkembangannya. Pola asuh abai ini membiarkan anak belajar tumbuh dengan sendirinya, tanpa memfasilitasi kebutuhan dasar mereka. Anak menjadi kurang perhatian, kehilangan arah, dan tak mengerti akan adanya aturan. Apakah anak ini akan tumbuh menjadi anak yang percaya diri dan bahagia? Kita tentu bisa menjawabnya.
Kabar baiknya, tak semua orang tua hanya menjalani satu pola asuh. Ada yang otoritatif di satu waktu, lalu menjadi permisif di waktu lainnya. Ini hal yang wajar. Kita bisa menjadi orang tua yang terbaik saat kita bisa menempatkan pola asuh yang tepat dengan tetap mengedepankan kebutuhan anak.
Narasumber: dr. Cecilia Indrawan
Photo created by Lifestylememory - www.freepik.com