Review Film Sehidup Semati

Thriller tentang korban KDRT

Dengan memperhatikan poster dan trailer-nya saja, saya sudah bisa menerka alur dari Sehidup Semati, walau tidak sepenuhnya terbukti benar ketika filmnya ditonton hingga selesai. Namun, persoalan bahwa twist-nya mudah ditebak tidaklah berarti bila ceritanya memang runut dan logis ketika mengungkapkannya. Maka itu, saya tetap menaruh ekspektasi bahwa karya terbaru dari Upi Avianto ini akan tetap memberikan pengalaman baru. Walau ternyata harapan tersebut hampir nihil didapatkan.

Tokoh utama di film ini adalah Renata (Laura Basuki), seorang istri yang kerap mengalami tindak kekerasan dari sang suami, Edwin (Ario Bayu). Namun, Renata tetap ingin mempertahankan pernikahannya dengan menjadi istri yang baik. Sikap tersebut juga diambil sang ibu kala menjadi korban kekerasan dari sang ayah. Setelah disiksa suaminya sendiri, Renata kecil diajak oleh ibunya untuk berdoa agar pernikahan merekanya tetap utuh. Sebagai istri, pikiran Renata mulai terbuka ketika berkenalan dengan tetangga di apartemennya, Asmara (Asmara Abigail) yang memiliki kepribadian berseberangan dengannya.

Melihat bagaimana Renata dipandang oleh tetangganya seapartemen, agak kurang logis apabila Renata baru berkenalan dengan Asmara. Karenanya, identitas Asmara yang sebenarnya akan mudah ditebak. Ditambah lagi, keberadaannya dalam beberapa adegan menimbulkan tanya “Kok bisa ada dia tiba-tiba di sana?” Dengan demikian, daya tarik yang tersisa bagi saya adalah bagaimana filmnya menggambarkan pengaruh pergaulan Asmara terhadap prinsip hidup Renata. Sayangnya, hal tersebut dieksekusi cenderung membosankan dan tampak dapat dirangkum sebagai film berdurasi satu jam saja (total durasi film ini adalah 108 menit). Untungnya, penampilan Asmara dengan dialog-dialognya yang berani bisa mengangkat film ini dari klaim umum “membosankan”.

Ketika diminta Edwin untuk tinggal di dalam apartemen selama dirinya bekerja, Renata kerap diganggu sosok asing. Film ini menunjukkan bahwa Renata dihantui wanita bernama Ana (Chantiq Schagerl), perempuan yang diumumkan menghilang di lingkungan apartemennya. Gangguan yang dialami Renata digambarkan melalui jumpscare generik yang kurang bisa membuat penontonnya peduli kepada Renata. Apalagi setelah kita diperdengarkan pada suara Ana yang tampak akrab dengan Edwin. Ketakutan Renata kepada Ana pun dibuat menjadi bermakna ganda. Ana bisa dianggap sebagai hantu yang menggentayangi dirinya, bisa juga dianggap sebagai bayang-bayang selingkuhan Edwin yang mengancam pernikahannya.

Film ini sangat jelas menyindir paham patriarki yang mengharuskan istri patuh kepada suaminya. Apalagi anjuran tersebut berdasarkan ajaran agama yang menjelaskan asal Adam dan Hawa. Salah satu sindiran yang sangat relevan dengan realita adalah perkataan tetangga Renata yang mengisyaratkan bahwa kita tidak perlu ikut campur dengan urusan rumah tangga orang lain, bahkan jika kita sudah melihat bukti kekerasan di dalamnya. Salah satu dialognya, “Tempat ini udah gak layak lagi loh” pun dapat diinterpretasikan memiliki makna ganda. Dialog yang mengolok-olok patriarki, selain sangat gamblang pun hadir berulang kali dalam redaksi yang mirip, baik dari khotbah yang disaksikan Renata (Renata sekeluarga digambarkan beribadah di gereja) maupun nasihat tersurat dari sang ibu. Adanya repetisi membuat saya bosan dan sempat agak membandingkan esensi film ini dengan film-film reliji lain yang bertemakan poligami. Sama-sama penuh oleh petuah nirempati dari karakter relijiusnya.

Film ini mengungkap misterinya dengan alur yang runut, lewat beberapa petunjuk nyata yang memperlihatkan bahwa cerita dari Upi memiliki alur maju mundur. Contoh dari petunjuknya adalah kue anniversary yang dieprsiapkan oleh Renata. Akan mudah merangkai sendiri urutan linear dari adegan-adegan yang hadir sebelum babak ketiganya, begitu juga dengan maksud sebenarnya dari penerawangan seorang dukun yang diminta mencari Ana. Eksplorasi kondisi psikis Renata sayangnya tidak maksimal walaupun penampilan dari pemerannya sudah meyakinkan.

Di satu sisi, film ini sedikit mengingatkan saya pada Sleep Call (2023) berkat kesamaan pemeran utama dan genrenya. Kemudian, saya segera teringat lagi dengan Belenggu (2013) yang sama-sama disutradarai dan ditulis oleh Upi. Kedua film tersebut dapat memberikan eksplorasi lengkap akan pemikiran dari karakter utamanya. Beda dengan film ini, yang tampak masih belum selesai karena konklusinya menunjukkan sebuah repetisi. Kesan akhir yang muncul malah menjadi kurang memuaskan.

5/10

Leave a comment